Ahmad Akfiyan,
Gelaran diskusi mengangkat tajuk "Melawan Algoritma Politik Dinasti". Ahmad Akfiyan selaku penanggung jawab diskusi mengatakan, diskusi ini berangkat dari isu Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Menurutnya, terdapat topik yang penting untuk ditanggapi, yakni praktik politik dinasti pada kontestasi Pemilu 2024.
"Berangkat dari isu pemilu 2024, lolosnya cawapres yang merupakan putra presiden dan melalui proses pembajakan konstitusi yang di bantu pamannya adalah contoh politik dinasti yang merugikan meritokrasi," jelas Akfiyan melalui pesan tertulis.
Akfiyan melanjutkan, bahasan tersebut juga penting mengingat saat ini Indonesia sedang menyongsong era emas di tahun 2045. Wacana Indonesia emas dinilainya tak akan dapat terwujud apabila tidak dimulai dari pembenahan sistem meritokrasi saat ini.
"Karena kita di Indonesia diprediksi akan berada pada masa keemasan sebentar lagi, antara 2045. Jika tidak ditangani dengan baik mulai dari sistem meritokrasi yang rontok oleh politik dinasti, maka dikhawatirkan kebangkitan itu hanya jadi mitos, tidak sampai nyata," ujarnya.
Diskusi selama 150 menit menghadirkan Ketua Umum Generasi Emas Indonesia (Gesid) Kalimantan Selatan, Muhammad Hanafi sebagai pembicara. Sementara satu pemateri lainnya tak dapat menghadiri acara diskusi. Kendati demikian, diskusi tetap berjalan secara aktif dengan tukar pendapat antara peserta dan pembicara.
"Jadi karena konsepnya diskusi, peserta juga ikut menambahi," terang Akfiyan.
Saat diskusi, Hanafi menyoroti beberapa kasus yang dianggapnya sebagai praktik politik dinasti. Diantaranya yakni pengangkatan Ketua Mahkamah Konstitusi yang merupakan ipar dari Presiden Joko Widodo. Kemudian, pencalonan putra presiden yakni Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
Selain itu, Hanafi juga menyoroti Kaesang Pangarep, anak bungsu presiden yang menjadi ketua partai politik setelah bergabung hanya dalam kurun waktu beberapa hari.
Hanafi menyampaikan, "Secara tidak langsung sebenarnya [Presiden Joko Widodo] sangat nampak dan sangat jelas telah menjalankan proses politik dinasti."
"Simpelnya untuk mempertahankan kekuasaan. Semacam 'kerajaan politik' yang mana mereka menempatkan keluarganya, kerabatnya, orang-orang terdekatnya pada posisi-posisi strategis pemerintahan guna mempertahankan kekuasaan dan dipersiapkan untuk melanjutkan kekuasaan," lanjutnya.
Dampaknya, Hanafi menjelaskan, praktik politik dinasti menjadikan partai sebagai mesin politik semata-mata untuk kepentingan para petinggi jabatan. Selain itu, konsekuensi dari praktik politik dinasti ialah mengurangi atau menutup kesempatan masyarakat untuk turut andil dalam politik.
"Itu akan berdampak pada sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi kita," tegas Hanafi.
Bagi Hanafi, praktik politik dinasti pada kontestasi Pemilu 2024 perlu disoroti dan disadari bersama. Terlebih bagi generasi muda sebagai generasi penerus. Senada dengan itu, Akfiyan menambahkan bahwa perlu dibangun kesadaran jangka panjang di kalangan generasi muda, salah satunya melalui diskusi yang berkelanjutan.
"Kami tidak menargetkan apapun kecuali membangun kesadaran jangka panjang, sebagai bekal kita nanti di masing-masing bidang perjuangan," ujar Akfiyan.
Kedepannya, Disa Pride sebagai platform diskusi dan edukasi pemuda berencana mengadakan gelaran serupa. Terlebih, Akfiyan mengatakan, diskusi-diskusi selanjutnya akan berangkat dari problem sosial politik dan kemasyarakatan. Dengan demikian, ia berharap, para pemuda sebagai generasi penerus akan dapat menjadi individu-individu yang semakin melek politik.
"Harapannya kita sebagai pemuda jadi lebih melek politik, dan sebagai calon penerus bangsa jadi tau apa yang mesti diperbuat," pungkasnya.(GY/red).
COMMENTS