![]() |
| Titis, salah satu peserta melukisndinjakan HOS Cokroaminoto |
PONOROGO, SINYALINDONESIA – Jalan protokol HOS Cokroaminoto mendadak menjelma menjadi galeri terbuka. Puluhan pelukis lintas usia membaur dengan lalu lintas dan kesibukan kota, menyulap suasana menjadi jejak-jejak ekspresi artistik yang hidup. Itulah suasana Festival Melukis On The Spot yang menjadi bagian dari rangkaian Grebeg Suro 2025 di Kabupaten Ponorogo, Sabtu (21/6/2025).
Meski pendaftaran diumumkan dalam waktu singkat, antusiasme peserta justru meledak. Dari perkiraan awal hanya 30 orang, jumlah peserta melonjak menjadi 50 orang. Mereka datang dari beragam latar belakang — pelajar, pedagang, petani, hingga seniman profesional.
"Ini di luar dugaan. Awalnya kami hanya menargetkan sekitar 30 peserta, karena pengumumannya juga cukup mendadak. Tapi ternyata respons masyarakat luar biasa, banyak yang langsung mendaftar," ujar Koordinator Acara, MA Fathurrohman di lokasi kegiatan.
Para peserta bebas memilih sudut mana saja di sepanjang Jalan HOS Cokroaminoto untuk menuangkan imajinasi mereka ke atas kanvas. Panitia hanya membekali mereka dengan kanvas putih polos, sisanya diserahkan pada naluri dan interpretasi masing-masing.
Mulai pukul 09.00 hingga 16.00 WIB, warna demi warna mulai memenuhi hamparan kanvas. Ada yang memilih merekam denyut jalan kota — deretan toko, lalu lalang kendaraan, dan warga yang berlalu dengan wajah-wajah khas Ponorogo.
Namun ada pula yang menangkap detail-detail kecil: tiang lampu, penjual kopi keliling, hingga bayangan dedaunan yang jatuh di trotoar.
Gaya "On The Spot", Tantangan Sekaligus Meditasi
Gaya melukis langsung di lokasi (on the spot) menjadi tantangan tersendiri bagi para peserta. Bagi sebagian, ini adalah proses kontemplatif. Bagi yang lain, ini ajang uji kepekaan menangkap esensi visual dalam waktu terbatas.
"Setiap sudut jalan ini punya karakter sendiri. Kita hanya perlu duduk, diam sejenak, dan melihat lebih dalam," ujar Yuni, salah satu peserta yang merupakan guru honorer dari Kecamatan Badegan. Ia melukis lanskap toko kelontong tua dengan warna-warna pastel yang lembut.
Festival ini bukan semata ajang lomba. Ada semangat merayakan ruang kota, melihat ulang lanskap sehari-hari sebagai sesuatu yang layak dikagumi. Tak heran jika panitia berupaya mengangkat karya mereka ke tingkat yang lebih tinggi.
"Semua hasil lukisan akan kami pamerkan di Galeri Smep mulai Minggu (22/6/2025) hingga akhir Juni. Jam bukanya dari pukul 10.00 sampai 22.00. Ini sebagai bentuk apresiasi atas karya mereka dan agar masyarakat bisa menikmatinya,” tambah Fathurrohman.
Ponorogo dan Estetika yang Tersembunyi
Festival ini juga menunjukkan satu hal penting: Ponorogo bukan hanya kota budaya, tapi juga kota yang bisa dinikmati melalui kacamata estetika visual.
Jalan HOS Cokroaminoto, yang sehari-hari hanya dilihat sebagai jalur lalu lintas utama, kini dilihat ulang dengan perspektif berbeda — sebagai ruang visual yang memuat emosi, dinamika sosial, dan keindahan.
“Kalau selama ini Grebeg Suro dikenal lewat festival reyog atau kirab pusaka, tahun ini terasa lebih lengkap. Ada ekspresi individual dan kontemplatif yang ditawarkan lewat kegiatan melukis ini,” ujar Andra, mahasiswa seni rupa yang turut menjadi peserta.
Di tengah dunia yang semakin cepat dan digital, festival ini justru mengajak warga untuk berhenti sejenak, mengamati, dan kembali meresapi keindahan kota lewat sentuhan tangan.
Ponorogo seolah berkata: keindahan tidak selalu harus megah — terkadang, ia hadir di sela-sela aktivitas harian, menunggu untuk direkam dan diabadikan.
Penulis : Nanang

Posting Komentar